Forms of Expressions vs Forms of Depression


Kata siapa cuma orang dewasa yang bisa eksis di sosial media? Jangan salah! Nyatanya kebanyakan dari pengguna internet dan sosial media saat ini justru berasal dari kalangan anak – anak berusia 17 tahun ke bawah. Adanya internet yang dikenal sebagai teknologi ‘beken’ masa kini membuat anak – anak dan remaja berbondong – bondong untuk mencoba alat canggih ini. Terutama, dengan kehadiran smartphone yang dilengkapi fitur yang serba ada (seperti kamera, aplikasi games, sosial media) semakin membuat masyarakat penasaran hingga mereka harus mencoba teknologi tersebut. Semakin berkembang zaman, semakin maju pula individu yang ada di dalamnya. Mereka berusaha mengikuti hingga terlibat di dalamnya, dan akhirnya individu ini menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan apalagi jika disangkut pautkan dengan kehadiran teknologi yang membawa pengaruh pada dunia sosialnya terutama psikologisnya. Dalam tulisan ini, penulis ingin membuka topik pembahasan mengenai forms of expressions mulai dari  akses terlebih dahulu. Akses disini merupakan suatu kemampuan untuk menggunakan internet atau ketersediaan yang memungkinkan manusia untuk mendapatkan fasilitas internet. Dibalik kemudahan akses tersebut, terdapat karakteristik pengguna internet serta perubahan - perubahan apa yang akan muncul ketika seseorang berhenti menggunakan internet. Internet hadir dengan kemampuan menjembatani perbedaan yang ada dalam masyarakat seperti kelas sosial antara orang kaya dengan orang miskin, pemiliki modal dengan buruh atau malah sebaliknya (Deetz, 1989a, 1989b;. Dervin, 1980; Lievrouw 1994, Murdock dan Golding, 1989).
Semula seseorang akan merasa dunianya begitu menyenangkan saat pertama kali ia menemukan internet. Ia bisa terhubung dengan semua orang yang dia kenal maupun tidak, berhubungan jarak jauh tanpa batasan waktu, hingga menjelajahi dunia baru yang belum pernah ia tahu sebelumnya. Rata – rata orang menggunakan internet bisa sampai 4 – 6 jam per hari,  hal ini hampir sama dengan heavy viewers (penonton berat televisi). Di Indonesia sendiri, rata – rata penduduknya yang menggunakan internet sekitar 1-3 jam dalam sehari. Adapun persentasenya mencapai 43,89 persen. Untuk pengguna yang mengakses internet selama 4-7 jam dalam sehari persentasenya mencapai 29,63 persen dan sebanyak 26,48 persen pengguna internet di Indonesia juga mengakses internet selama lebih dari 7 jam dalam sehari. Dalam sepekan saja, lebih dari separuh pengguna di Indonesia mengakses internet setiap hari dengan persentase yang mencapai 65,98 persen. Adapun sebanyak 13,90 persen pengguna mengakses internet 1-3 hari dalam sepekan. Kemudian, sekitar 10,46 persen pengguna di Indonesia mengakses internet antara 0-1 hari dalam seminggu. Di samping itu, sebanyak 9,66 persen pengguna mengakses internet 4-6 hari dalam sepekan. Terkait perangkat yang digunakan, sebanyak 44,16 persen pengguna internet menggunakan ponsel pintar (smartphone) atau tablet pribadi (dalam Kompas.com 19/02/2018). Data ini cukup mengejutkan karena hampir separuh dari masyarakat Indonesia adalah pengguna internet. Bayangkan saja apabila dalam sepekan persentase pengguna internet mencapai 65,98 persen, maka dalam sebulan lebih dari 85 persen penduduk Indonesia telah menjadikan internet sebagai alat yang paling berpengaruh dalam hidupnya.
Kita ketahui kini, internet bukan hanya sebagai tempat mencari informasi, namun internet bisa kita gunakan untuk mencari apapun yang kita mau bahkan membuat sesuatu yang baru melalui internet. Kita bisa memperlihatkan kemampuan kita dalam bidang IT mungkin atau mengembangkan bakatnya, kita bisa mengekspresikan apapun yang kita pikirkan dalam suatu website (ex: blog, wordpress), dan kita bisa membuat suatu produk atau ciptaan baru melalui internet seperti channel, iklan, semua itu hampir berhubungan dengan promosi merk pribadi. Namun, jika dilihat kembali, apakah sebagian orang sadar akan dampak internet? Internet memang membawa berbagai dampak baik itu dampak positif maupun negatif, tergantung pada perspektif orang masing – masing. Sebagian dari mereka ada yang mempunyai perspektif optimis, ada juga yang memiliki perspektif pesimis terhadap internet. Lalu, apakah perspektif optimis dari internet? Tentu banyak. Penulis yakin sebagian kalian sudah tahu akan dampak positif sebuah internet. Tentunya munculnya internet ini memberikan harapan baru yang dapat membantu kehidupan manusia serta membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi misalnya ketika kita tidak mengerti akan materi yang diberi guru atau dosen, kita akan lebih memilih internet sebagai alat utama untuk membantu kita mencari materi. Selain itu, materi yang disediakan di internet pun bukan hanya melalui e-book tetapi tersedia juga video – video pembelajaran siswa di internet. Apapun bisa kita dapatkan di internet. Lalu, perspektif pesimis apa yang orang pikirkan tentang internet? Yap! Kebanyakan orang akan berpikir bahwa internet akan membuat seseorang kecanduan, bergantung pada internet, dan akan apatis. Tetapi, bukan hal seperti itu yang menjadi inti permasalahannya. Penulis akan lebih mengerucutkannya lagi pada dampak psikologis seseorang. Apa yang akan terjadi jika seseorang kecanduan internet selain menjadi apatis? Mengapa kebanyakan orang memilih internet sebagai forms of expression nya? Adakah kaitannya dengan forms of expressions yang ia lakukan di dunia nyata? Ciri psikologis seperti apa yang ditunjukkan oleh seseorang yang kecanduan internet? Langsung saja kita lihat salah satu contoh kasus yang terjadi di negeri Paman Sam, Amerika Serikat, tentang dampak psikologis yang terjadi pada remaja dan anak – anak akibat penggunaan internet yang berlebihan. Di Amerika Serikat, 59% anak muda yang aktif sebagai pengguna sosial media ternyata didiagnosa menderita kelainan psikologis. Kelainan tersebut dapat berupa rasa sedih mendalam, stres, hingga depresi (dalam Brilio.net 27/07/2017). Penderita depresi yang terjadi di kalangan anak – anak dan remaja ini justru semakin bertambah akibat perkembangan teknologi yang begitu pesat.
Menurut catatan Common Sense Media, 93% anak muda usai 12-17 tahun di Amerika menggunakan media sosial. Dengan angka yang cukup besar tersebut, bisa diasumsikan bahwa anak muda kini punya dua dunia yakni maya dan nyata. Namun ternyata di dunia maya menyimpan bahaya bagi kesehatan mentalnya. Ketika seorang anak atau remaja terlalu asyik terhadap dunia virtualnya, dimungkinkan ia akan cenderung individualis. Sikap ini kemudian menjadikan mereka menjadi orang yang apatis, tidak peduli lingkungan, hingga menjadi egois. Ketika anak tersebut diliputi masalah, maka hal pertama kali yang akan ia lakukan adalah mengekspresikan perasaannya, pikirannya ke dalam media sosial. Mereka merasa bahwa tanpa mereka bercerita kepada orang tua atau orang - orang disekitarnya, mereka dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, karena mereka telah  mengekspresikannya di dunia maya. Hal inilah yang kemudian memicu stress pada anak. Merujuk pada analisis Orions dan Heerwagen (1992), bahwa sejatinya setiap orang punya kecintaan alami dengan lingkungan tempat tinggal. Kecintaan alami ini yang meningkatkan kebahagiaan. Sehingga, saat mereka semakin terkungkung di dunia maya, maka kesempatan mencintai dan mendapat afeksi dari alam sekitar akan berkurang, maka kebahagiaan mereka pun juga berkurang (dalam Brilio.net, 27/07/2017).
Jika dikaitkan dengan Teori Self-disclosure milik Sidney Marshall Jourard (1926 – 1974) yang menyatakan bahwa semakin kita membuka diri kepada orang lain maka semakin orang lain akan paham tentang kita yang berujung pada semakin baiknya kualitas hubungan kita dengan orang lain. Jadi menurut teori ini ada hubungan langsung antara pengungkapan diri dengan kualitas hubungan yang terbangun di antara pihak yang terlibat. Lalu, apakah dengan kita melakukan interaksi dengan banyak orang di sosial media kemudian mengungkapkan identitas kita, maka orang lain akan tahu siapa sesungguhnya kita? Jika sudah tahu, apakah mereka bisa disebut sebagai orang yang paling mengenal kita? Dalam teori Self-disclosure ini mengibaratkan kepribadian manusia sebagai lapisan bawang merah, dimana terdapat bagian luar, dalam, dan lebih dalam lagi. Apabila seseorang mengungkapkan perasaannya ke dalam sosial media, maka dimanakah lagi privasi orang tersebut? Bukankah terlalu banyak menerima informasi malah menimbulkan kebingungan pada seseorang? Kebingungan ini yang kemudian menimbulkan stress, bahkan depresi bagi seseorang. Inilah bahaya yang ditimbulkan dari overpersonalisasi seseorang di media sosial, terutama anak. Dalam konsep teori Communication Privacy Management yang dicetuskan oleh Petronio yang menanggapi teori Jourad, bahwa pengungkapan harus memperhatikan apakah informasi yang disampaikan bersifat pribadi atau publik. Pengungkapan juga seharusnya memperhatikan dialektika antara tindakan ingin ‘mengatakan’ yang berarti informasi pribadi bisa dibagikan kepada pihak kedua, atau memilih tindakan untuk ‘menyembunyikan’ informasi pribadi dari pihak lain dan tetap menjadi informasi milik pribadi. Maka baik individu yang senang berinteraksi di dunia nyata maupun di dunia maya harus mampu menjaga pola interaksinya, termasuk mampu membedakan mana yang harus diungkapkan mana yang tidak perlu diungkapkan. Teori ini pun menyatakan bahwa anak - anak biasanya memiliki akses yang lebih mudah ditembus, karena umumnya anak-anak memiliki garis batas informasi yang kecil sebab masih polos dan jarang dari mereka yang menyimpan rahasia pribadinya karena mereka masih bergantung pada orang tua. Namun, apabila seorang anak tidak dibatasi dalam menggunakan media, kemudian ia terjerumus ke dalam dunia maya dimana ia tidak mengenal siapapun di dunia maya dan ia pun tidak mengerti mana privasi yang harus dijaga mana yang harus diungkapkan. Apa jadinya bila privasi anak tersebut malah menjadi boomerang bagi dirinya?
Beberapa kasus cyberbullying yang terjadi pada seseorang terutama anak dan remaja awalnya dimulai dari cara korban yang salah dalam mengekspresikan dirinya di media sosial, bisa jadi ia terlalu overpersonalisasi sehingga tidak ada gatekeeper dalam membatasi privasinya. Pada akhirnya, korban menjadi sorotan yang menimbulkan prasangka pada orang lain. Korban pun selalu menerima informasi yang buruk tentang dirinya dari orang lain. Hingga pada akhirnya korban menderita depresi akibat gagal menemukan konsep dirinya di sosial media, gagal menutupi privasi dirinya di sosial media, gagal untuk menciptakan kualitas hubungan yang baik dalam sosial media. Karena sudah terlalu lama asyik dengan dunia virtualnya, ia pun tak mampu mengungkapkan apa yang ia rasa pada orang-orang di sekitarnya, tentang perasaan sedihnya akibat cyberbullying yang ia terima. Kesedihan itupun berujung pada depresi. Inilah dampak tragis yang ditimbulkan dari forms of expressions yang terlalu berlebihan di sosial media yang pada akhirnya malah menjadi forms of depression.
Dalam konsep teori Communication Privacy Management yang dicetuskan oleh Petronio yang menanggapi teori Jourad, pengungkapan harus memperhatikan apakah informasi yang disampaikan bersifat pribadi atau publik. Pengungkapan juga seharusnya memperhatikan dialektika antara tindakan ingin ‘mengatakan’ yang berarti informasi pribadi bisa dibagikan kepada pihak kedua, atau memilih tindakan untuk ‘menyembunyikan’ informasi pribadi dari pihak lain dan tetap menjadi informasi milik pribadi. Maka baik individu yang senang berinteraksi di dunia nyata maupun di dunia maya harus mampu menjaga pola interaksinya, termasuk mampu membedakan mana yang harus diungkapkan mana yang tidak perlu diungkapkan. Kemudahan dalam mengakses internet, kemudahan dalam menceritakan sesuatu di internet, kemudahan dalam berinteraksi dan hal - hal lain yang menjadi keunggulan internet ini bukan berarti selalu membawa dampak positif bagi masyarakat. Namun, adanya dampak negatif pun bukan suatu hal yang harus kita hindari, tetapi alangkah baiknya apabila kita lebih cermat dan peduli terhadap dampak tersebut. Pembahasan mengenai topik forms of expressions dan forms of depression ini hanya mewakili dari sekian banyak kasus yang terjadi di Indonesia. Maka, dari tulisan ini penulis ingin mengajak kepada masyarakat agar lebih peduli terhadap dampak penggunaan internet, bukan untuk dihindari. Peduli terhadap orang - orang yang kecanduan internet agar bagaimana mereka bisa lepas dari forum ekspresinya secara perlahan tanpa menimbulkan kerugian psikologis pada dirinya. Gunakanlah internet dan media sosial sebijak mungkin, karena kebijakan yang kalian tanamkan akan memberikan dampak yang baik pula bagi diri kalian.

DAFTAR PUSTAKA
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping an Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. (Chapter 3 : Perspectives on Internet Use : Access, Involvement and Interaction”)

Setiawan, Sakina Rakhma Diah. 2018 (19 Februari, pukul 18:45 WIB) . “Berapa Lama Rata – Rata Orang Indonesia Gunakan Internet dalam Sehari?” , dalam https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/19/184500826/berapa-lama-rata-rata-orang-indonesia-gunakan-internet-dalam-sehari , diakses pada Selasa, 20 Maret 2018.

Utomo, Kurnia Putri. 2017 (27 Juli, pukul 07:35 WIB) . “Bagaimana Mengatasi Depresi di Era Media Sosial?” , dalam https://www.brilio.net/kepribadian/bagaimana-mengatasi-depresi-di-era-media-sosial-170726f.html , diakses pada Selasa, 20 Maret 2018.

Komentar

Popular Post