Playing Games with Parents
Media baru selalu saja membuat kejutan
bagi masyarakat millineal di era modern ini. Apa saja bisa diakses melalui
media. Kita mendapatkan sebuah informasi dari media, kita berkomunikasi dengan
orang lain bisa melalui media, bahkan bisa komunikasi tatap muka hanya melalui
dunia virtual seperti video call. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika kita
butuh hiburan akan permainan, kita tak perlu lagi menemui teman – teman kita
untuk mengajaknya bermain, karena sekarang kita bisa mengakses semua permainan
yang kita inginkan hanya melalui media. Media yang penulis maksud dalam konteks
ini adalah komputer, handphone, dan semacamnya. Dimana didalam komputer atau
handphone terdapat fiture-fiture yang
diantaranya terdapat game dan budaya online. Kemunculan game komputer ini tentu
marak untuk dicoba, khususnya anak – anak. Anak – anak yang gemar bermain dan
penuh dengan rasa ingin tahu pasti ia tidak akan ketinggalan untuk mencoba
media baru yang satu ini. Pada tahun 90-an, permainan anak – anak sempat
digemparkan dengan diluncurkannya Playstation pertama kali oleh Jepang pada 3 Desember 1994, kemudian disusul oleh Amerika pada 9 September 1995, dan di Eropa pada 29 September 1995. Playstation
yang diproduksi pertama kali oleh Sony dengan kualitas grafis dari era 32-bit tersebut
mampu menarik perhatian massa yang sebagian penggunanya adalah anak laki –
laki. Sekitar 7.000 lebih judul
permainan yang telah tersedia dengan jumlah akumulasi 949 juta pada playstation
games ini. Perkembangannya pun semakin meningkat setiap periode. Mulai dari
PsOne yang merupakan produksi pertama dari jenis Playstation, kemudian
berlanjut ke Playstation 2 hingga sekarang permainan playstation ini sudah
meluncurkan generasi berikutnya yakni Playstation 4. Media permainan
Playstation ini terdapat stick dan
juga processor untuk memainkannya. Stick digunakan untuk menggerak –
gerakan permainan sedangkan processornya untuk menyetel kaset PS tersebut.
Kini, Playstation bisa dimainkan dengan mudah tanpa harus memasang kabel dengan
processornya kemudian memainkannya
dengan stick, karena sudah ada
Playstation Portable atau yang biasa disebut PSP. Bentuk PSP ini seperti
handphone, namun di dalamnya terdapat puluhan juta games yang bisa di up to date tiap harinya ke dalam sebuah
ROM. Meledaknya permainan Playstation sejak tahun 90-an hingga 2000-an ini pun
memunculkan budaya “nge-rental”. Dimana – mana membuka rental PS untuk wadah
bermainnya anak – anak, hingga terkadang budaya ini membuat anak lupa waktu.
Setelah meledaknya produk PsOne kemudian
keluarlah produk permainan terbaru dimana anak – anak bisa memainkannya setiap
hari tanpa harus pergi ke rental PS atau mengeluarkan banyak uang untuk membeli
Playstation, yakni game online. Game online ini bisa diakses melalui komputer
dengan jaringan internet, atau melalui handphone lewat fitur – fitur di
dalamnya. Banyak game online yang tersebar di internet, bahkan kini baik anak
laki – laki maupun anak perempuan bisa mengaksesnya dengan mudah. Dahulu, game
PS kebanyakan hanya bisa dimainkan oleh anak laki – laki, namun sekarang
dengan adanya game online dan jenisnya yang banyak membuat anak perempuan tidak
ketinggalan jaman untuk ikut menikmati media permainan baru ini. Tetapi, dibalik kemudahan akses permainan yang
diberikan oleh komputer atau handphone tersebut dapat memberikan sisi negatif
maupun sisi positif. Keberadaan games yang sudah menjamur dimana – mana tidak
hanya memberikan dampak pada kalangan anak – anak tetapi dewasa pun terkena
dampaknya. Penggunaan komputer sebagai media untuk bermain bagi anak – anak
merupakan aktifitas yang telah mempengaruhi segala aspek dalam kehidupannya
terutama dalam ruang lingkup pergaulannya. Biasanya, anak yang terlalu asyik
bermain dengan game online akan mengalami kecanduan.
Griffiths (1996) melihat bahwa New Media
berdampak buruk bagi otak dan juga tubuh. Banyak sekali penelitian secara
klinis terhadap fenomena seperti “nintendo
elbow” dan epilepsi yang diduga disebabkan oleh game komputer. Berdasarkan
penelitian mengenai “kecanduan” komputer berefek negatif pada imajinasi
anak-anak dan akan menurunkan prestasi belajarnya. Selain itu, game
addiction yang semakin merajalela tentu akan mempengaruhi
komunikasi antara gamers dengan orang lain, dari perspektif psikologi sosial
sesorang akan semakin menjadi individualis dan rentang untuk berkomunikasi
secara langsung terhadap sesama teman maupun keluarga dapat di atribusikan
karena faktor game addiction (Hadi, 2012). Dari
berbagai perspektif ini menjadi sebuah peringatan bagi orang tua agar mengawasi
anak – anaknya ketika menggunakan New Media terutama game online. Tetapi, maksud penulis dalam kata “mengawasi” bukan
berarti anak harus dilarang atau diawasi terus – menerus dalam bermain game.
Tetapi, memberi kebebasan pada anak untuk bisa menghibur diri, mengisi waktu
luangnya, dan menikmati adanya New Media agar anak pun tidak ketinggalan zaman
atau menjadi GAPTEK. Orang tua bisa mulai dengan cara memberi kesempatan pada
anak untuk bisa mengakses internet atau media baru ini. Kemudian, orang tua
bisa mengarahkan anak – anaknya mainan seperti apa yang pantas untuk
seumurannya. Misalnya, seorang ayah dalam mendidik anak laki – lakinya tentu
akan memberikan arahan bahwa laki – laki harus tangguh, mempunyai kekuatan agar
bisa melindungi keluarga atau perempuan dari kejahatan, maka ayah tersebut bisa
menunjukkan game yang sesuai dengan kriteria tersebut, seperti game Naruto,
atau game Basara. Mengapa saya memilih game Naruto atau Basara? Karena dalam
game tersebut kita diberi kesempatan untuk memilih karakter pemain atau
petarung dan beberapa dari karakter tersebut adalah laki – laki yang memiliki
kekuatan (ditunjukkan dalam bentuk persen atau angka berapa besar kekuatan
karakter tersebut). Kemudian dalam games tersebut khususnya untuk 2 player, kita bisa ditunjukkan siapa yang merupakan musuh dan siapa
yang merupakan teman kita dalam permainan tersebut. Jadi, walau games tersebut
adalah game pertarungan, tapi tetap menunjukkan sisi pertemanan, hal tersebut akan
mengajarkan anak untuk bersikap kesetiakawanan dan kooperatif. Selain games
Naruto dan Basara, kita juga bisa mengarahkan anak pada permainan – permainan yang
mengasah otak. Harus kita ketahui bahwa ternyata games dapat mengasah otak anak,
baik mengasah otak kiri (menganalisa, mengatur strategi) maupun mengasah otak
kanan (kemampuan berbahasa). Contoh games mengasah otak seperti Teka - Teki Silang, Ludo, dan Tebak Gambar. Dari sekian banyak gamers muda yang tersebar di
Indonesia, beberapa dari mereka mengakui bahwa games sangat berpengaruh pada
perkembangan motoriknya. Bermain games ibaratnya seperti bermain catur, mengajak kita untuk fokus dan mengatur strategi yang benar. Hingga awal tahun 2003, banyak games bergenre eSport (elektronik sport) yang digemari anak - anak. Salah satu contoh games bergenre eSport adalah games MOBA (Multiplayer Online Battle Arena). Games MOBA yang menjadi hits pada tahun 2003-an ini adalah game DOTA.
DOTA, atau Defense of the Ancients merupakan permainan yang bisa kita ibaratkan seperti bermain catur, dimana
permainan catur dikenal juga sebagai olahraga otak yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir. Dalam game DOTA ini, mengajarkan pemainnya untuk mengatur
strategi dan meningkatkan fokus pemain. DOTA merupakan salah satu permainan
eSport bergenre MOBA yang mulai marak menjadi bahan kajian untuk menjawab
hubungan antara kompleksitas permainan suatu video game dengan kemampuan
berpikir seseorang. Salah satu gamers DOTA, Novarurozaq (23) seorang mahasiswa dari
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto yang juga merupakan pendiri Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) beserta komunitas eSport (elektronik sport) di Purwokerto,
membagikan pengalamannya selama menjadi ketua ESPORT. Ia menuturkan bahwa
eSport bukan hanya sebagai hiburan dan menghilangkan kebosanan di rumah, namun
ia dapat mengembangkan otak kirinya menjadi lebih aktif. Selain itu, gerakan
motorik yang reflek ikut menambah inovasi pada dirnya. Menurutnya, game tidak
selamanya membuat seseorang malas belajar, karena pada kenyataannya ia justru
memiliki wawasan luas karena dapat berinteraksi dengan banyak orang hingga ke
luar negeri. Melalui permainan DOTA, ia juga dapat meningkatkan kemampuan
bahasa inggrisnya. Ilmu yang ia pelajari selama menjadi pemain handal DOTA
benar – benar berguna bagi kehidupannya. Anggapan ini pun dibenarkan oleh para
gamers lainnya, pemain yang handal dianggap sebagai orang yang memiliki tingkat
intelektualitas yang tinggi. Dilansir dalam Esport.id, Alex Wade, salah satu
anggota tim dari Digital Creativity Lab
mengatakan bahwa game seperti DOTA, league
legends merupakan permainan yang
sulit, karena menuntut interaksi sosial dan membutuhkan intelektualitas.
Penelitian mengungkapkan bahwa game tersebut bisa menjadi tolak ukur kecerdasan
seseorang. Hal ini serupa dengan yang dituturkan oleh Athanasios Kokkinaki, seorang
murid kedokteran dari Dewan Peneliti Ilmu Teknik dan Fisika (EPSRC) untuk Centre for Intellegent Games and Game
Intellegent di Universitas York, sekaligus sebagai penulis utama di PLOS
ONE, bahwa genre games MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) mengandalkan kemampuan nalar dan berpikir secara
strategis untuk menentukan keputusan-keputusan secara cepat. MOBA ini disebut
juga sebagai action real-time strategy (ARTS). Jika dikaitkan dengan cultural theory, penggunaan new media terutama adanya game addiction
terhadap anak – anak tak selamanya membuat anak terisolasi dan menjadi
individualis karena semakin berkembang zaman, semakin membuat para pembuat game
berpikir bagaimana agar para gamers tetap bisa berinteraksi dengan orang –
orang disekitarnya dengan menyelipkan beberapa keunggulan dari game yakni berkomunikasi secara online, seperti diselipkan fitur chatting atau video dalam games tersebut, sehingga game itu terlihat seru dan tetap interaktif.
Jika dinilai dari aspek literasi pun, ternyata game ini dapat menambah wawasan
anak dan kemampuan otaknya. Anak menjadi lebih kaya akan inovasi, kreatif, dan
pandai dalam mengatur strategi. Tetapi, semua kembali pada jenis permainan yang
anak – anak mainkan. Apabila permainan yang dimainkan anak sejenis eSport, maka
ini merupakan game yang baik untuk anak namun tetap dibatasi dalam
penggunaannya, agar tidak terjadi game
addition over.
Dari beberapa hasil survey di atas, menunjukkan bahwa games tidak selamanya membawa dampak buruk, tergantung pada cara pemakaian kita. Oleh karena itu, ini merupakan sebuah literasi bagi para orang tua agar lebih care dan tahu mana yang anak sukai. Apabila anak menyukai game, maka berikan mereka kebebasan, tetapi tetap Anda perhatikan apa saja judul game yang ia mainkan. Kalau perlu, Anda bisa mulai bertanya - tanya kepada anak sebenarnya apasih game yang anak Anda sukai, lalu ajaklah mereka main bersama. Seperti ibu mengajarkan anak perempuannya memasak, maka apabila anak tersebut bermain game, maka Anda bisa memberikan ia pengarahan untuk bermain game masak - memasak. Begitu pula dengan seorang ayah yang bisa mengajak anak laki - lakinya untuk bermain game 'repair' mobil, atau balapan, tapi tidak melebihi batas. Tidak hanya memperkenalkan dan memperbolehkan, namun orang tua harus membekali anak dengan wawasan yang intelektual, sehingga anak tahu mana sisi positif yang bisa diambil dari media yang ia gunakan, dan mana sisi negatif yang harus ia jauhkan.
Dari beberapa hasil survey di atas, menunjukkan bahwa games tidak selamanya membawa dampak buruk, tergantung pada cara pemakaian kita. Oleh karena itu, ini merupakan sebuah literasi bagi para orang tua agar lebih care dan tahu mana yang anak sukai. Apabila anak menyukai game, maka berikan mereka kebebasan, tetapi tetap Anda perhatikan apa saja judul game yang ia mainkan. Kalau perlu, Anda bisa mulai bertanya - tanya kepada anak sebenarnya apasih game yang anak Anda sukai, lalu ajaklah mereka main bersama. Seperti ibu mengajarkan anak perempuannya memasak, maka apabila anak tersebut bermain game, maka Anda bisa memberikan ia pengarahan untuk bermain game masak - memasak. Begitu pula dengan seorang ayah yang bisa mengajak anak laki - lakinya untuk bermain game 'repair' mobil, atau balapan, tapi tidak melebihi batas. Tidak hanya memperkenalkan dan memperbolehkan, namun orang tua harus membekali anak dengan wawasan yang intelektual, sehingga anak tahu mana sisi positif yang bisa diambil dari media yang ia gunakan, dan mana sisi negatif yang harus ia jauhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Billy . (2017, November) . “Menurut Fakta Ilmiah, Jangan Larang
Anak Main Game!” , dalam Esport.id https://esports.id/other/news/2017/11/9b04d152845ec0a378394003c96da594/opini-menurut-fakta-ilmiah-jangan-larang-anak-main-game
, diakses pada 24 Maret 2018 pukul 09.00 WIB.
Jalil, Abdul . (2015, Februari 11) . “Game
Addiction” , dalam http://abduljalil.web.ugm.ac.id/2015/02/11/game-addiction/ , diakses pada Minggu, 25 Maret
2018 pukul 07.00 WIB.
Lievrouw,
Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook
of New Media : Social Shaping an Social Consequences of ITCs, Sage
Publication Ltd. London. (Chapter 3 : “Children and
New Media”)
Mulkirm . (2014, Februari 27) . “Pengaruh Game
Terhadap Kinerja Otak” , dalam https://mulkirm.wordpress.com/2014/02/27/pengaruh-game-terhadap-kinerja-otak/
, diakses pada Sabtu, 24 Maret 2018 pukul 07.00 WIB.
Sands Casino: The Home of Gaming & Entertainment
BalasHapusVisit Sands Casino Resort in Las Vegas, Nevada and experience our gaming floor หารายได้เสริม complete 제왕카지노 with the most luxurious rooms, restaurants, and gaming Entertainment · Casino · Slots & 샌즈카지노 Live · Gaming