Dari Cyberspace Turun ke Cyberlove (Kejahatan Dalam Cinta)
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan
yang paling sempurna di antara makhluk yang lainnya. Walau tidak semua manusia
sempurna secara fisik, tetapi manusia merupakan makhluk unggul karena telah di
berkati jiwa yang sempurna berupa keingintahuan, semangat dan hasrat. Ketiga hal
tersebut mengharuskan manusia untuk hidup bersama dengan orang lain untuk tetap
menjaga kebaikan dan kesempurnaan jiwanya. Manusia selalu membutuhkan manusia
lain, dan itu merupakan suatu hakekat dari manusia sebagai makhluk hidup. Oleh karena
itu, manusia selalu disebut sebagai makhluk sosial. Dalam hal pekerjaan, mengurus
diri sendiri, hingga memenuhi kepuasan hati, manusia membutuhkan suatu cinta. Abraham Maslow mengatakan dalam Sobur
(2003:277) melalui teori hierarkinya, bahwa cinta merupakan kebutuhan
pada manusia. Dalam teori ini cinta berarti kasih sayang dan rasa terikat (to
belong). Rasa saling menyayangi dan terikat satu sama lain, antara individu
satu dengan individu lainnya. Maslow mengatakan bahwa kita semua membutuhkan
rasa diingini dan diterima oleh orang lain. Ada yang memusatkan kebutuhan ini
melalui berteman, berkeluarga, atau berorganisasi. Tanpa ikatan ini, kita akan
kesepian. Pendapat di atas mengartikan bahwa cinta tidak harus dalam hal yang berhubungan
dengan orang lain, tetapi cinta itu bisa mengarah pada kesukaan atau hasrat
kita dalam mencapai sesuatu. Misalnya, kita mencintai musik, maka hasrat kita
terpenuhi jika kita mampu menjalaninya. Contoh lainnya, jika kita mencintai
pekerjaan kita maka kita akan melakukannya dengan sepenuh hati. Kemudian emosi dari
reaksi cinta tersebut akan menghasilkan sebuah aksi agar kita melakukan
pekerjaan itu dengan tekun. Eric Fromm dalam bukunya The Art of Loving (1993) mengatakan bahwa cinta sebagai alat untuk
mengatasi keterpisahan, dan bukan hanya sebagai kebutuhan eksistensi, melainkan
untuk kebutuhan biologis. Cinta yang hidup dalam diri manusia berasal dan berkembang
dari lingkungan alam dan sosial budayanya. Sehingga terbentuknya cinta dalam
pribadi seseorang merupakan pengaruh dari hasil interaksinya dengan orang lain.
Di era globalisasi yang semakin maju
ini, teknologi informasi dan komunikasi semakin berkembang. Ini menjadi suatu
kebutuhan bagi setiap individu untuk mendukung kegiatan-kegiatannya baik dalam
kelompok maupun antar pribadi guna mencapai tujuannya. Banyak peluang dan nilai
tambah yang bisa di dapat dari kemajuan teknologi ini, khususnya yang berkaitan
dengan peningkatan mutu kerja di bidang pemerintahan dan pelayanan publik (Arifianto,
2013). Kemudahan ini pun membuat kinerja masyarakat dalam semua bidang menjadi
cepat, tepat, adil, dan akuntabel. Begitu pula dalam hal cinta. Di tengah
kemajuan teknologi komunikasi ini, tentunya dalam menyatakan cinta tidak perlu
pergi jauh ke Kantor Pos untuk melakukan kegiatan surat-menyurat bersama
pasangan. Tidak lagi harus pergi ke Wartel (Warung Telepon) untuk menyatakan
rindu. Sebab, menyatakan cinta bisa dimanapun dan kapan pun hanya melalui Cyberspace!
Kemampuan Cyberspace dalam menjangkau target penggunanya begitu kuat,
sehingga di dalamnya bisa terdapat beragam individu dari berbagai macam ras,
etnik, gender dan budaya dari seluruh belahan dunia. Cyberspace merupakan sebuah ruang yang tidak dapat terlihat. Ruangan
ini tercipta ketika terjadi jalinan komunikasi di dalamnya yang dilakukan untuk
menyebarkan informasi tanpa adanya batasan kontak fisik. John Perry Barlow
(1990) menyatakan bahwa Cyberspace
merupakan suatu ruang yang dikelola dalam dunia online atau internet. Pembahasan
ini akan mengarah pada sebuah teori yang akan mengenalkan kita pada virtual
community (dunia maya) yang dicetuskan oleh Leah A. Lievrouw dan Sonia
Livingstone. Mulai dari Chapter 2 dengan subjudul Creating Community with Media: History, Theories, and Scientific
Investigacy, yang membahas tentang bagaimana perkembangan media lama ke
media baru. Kemudian dalam chapter tersebut dibahas bagaimana hubungan antara
masyarakat dengan penggunaan media. Teori ini memaparkan bagaimana membuat
komunitas dengan media berdasarkan sejarah, teori, dan investigasi ilmiah. Bab tersebut
juga membahas tentang perubahan konsep masyarakat dari cara tradisional dimana
masyarakat belum mengenal media ke masyarakat yang sudah mengenal fasilitas
komunikasi berbasis internet. Satu hal yang penting dari chapter ini adalah lebih
memusatkan pada pembahasan sebuah New Media (Media Baru).
Berdasarkan hasil diskusi yang pernah
saya alami selama di kelas Mata Kuliah Teknologi Komunikasi, New Media tak
selamanya berarti media baru. Tak selalu New Media berarti media yang berbasis
internet, dan selalu berhubungan dengan handphone. Tetapi, New Media adalah
desentralisasi jaringan yang bersifat many
to many. Pengiriman pesan dengan kapasitas besar dapat dijangkau hanya
melalui satelit. New Media memberikan akses kemudahan dalam penyampaian pesan
yang fleksibel melalui digitalisasi pesan. Sifat dari New Media ini sendiripun
interaktif. Dalam buku The Virtual
Community Homesteading On The Electronic Frontier (2000) karya Rheingold
memberikan sekilas refleksi mengenai seperti apa kehidupan individu di dalam
Cyber Space. Rheingold mengatakan :
“ People in
virtual communities use words on screens to exchange pleasantries and argue,
engage in intellectual discourse, conduct, commerce, exchange, knowledge, share
emotional support, make plans, brainstorms, gossip, feud, fall in love, find
friends and lose them, play games, flirt, create a little high art and lot of
idle talk.”
Pernyataannya tersebut memaknai bahwa
orang – orang dalam komunitas virtual menggunakan kata – kata dalam sebuah
layar untuk saling bertukar kenyamanan, kesenangan dan argumen dalam sebuah
diskusi yang intelektual, kemudian melakukan perdagangan, bertukar pikiran,
saling membagikan perasaan emosional, membuat rencana, membuat gosip dan isu, menemukan
teman dan kemudian kehilangan mereka, bermain permainan, saling menggoda, hingga
merancang seni yang tinggi dan banyak melemparkan omong kosong, dan yang paling
menarik adalah ketika antar individu bisa saling bermusuhan atau bahkan jatuh
cinta hanya melalui virtual community. Orang-orang yang berada dalam
komunitas virtual ini rata-rata hampir sama dalam melakukan aktivitasnya. Namun
perbedaannya hanyalah cara mereka mengontak fisik lawan bicaranya secara tidak
langsung karena mereka meninggalkan tubuh mereka di dunia nyata dan berselancar
di dunia maya. Hal yang menarik apabila kita yang hidup di era modern ini membahas
mengenai perubahan teknologi yang begitu pesat, karena hal tersebut sangat
berkaitan erat dengan kehidupan kita, terutama pada anak muda jaman sekarang. Namun,
akan lebih menarik dan menyenangkannya jika kita bisa menyangkutkan fakta
teknologi baru seperti New Media ini dengan sebuah kisah percintaan yang
terjadi melalui CyberSpace, yakni Cyber-Love.
CyberLove merupakan pola kedekatan antar individu yang
terjalin melalui interaksi dunia maya atau sosial media yang juga memungkinkan
seseorang untuk menyukai lawan jenis atau sejenis. CyberLove bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, sama seperti
jalinan komunikasi yang dilakukan virtual
community. Sebagai contoh, ketika seseorang
memiliki hasrat keingintahuan tentang identitas orang yang ia sukai di media
sosial, maka ia akan terus mencarinya sampai dapat, hingga ia bisa mengetahui
orang yang disukai lebih dalam. Menguntit seseorang di dunia maya dalam bahasa
modernnya disebut”stalking profile”. Stalking profile biasa
dilakukan oleh orang-orang yang penasaran akan status orang lain di dunia maya.
Mereka bisa stalking melalui
followers akun orang tersebut, atau mencari melalui internet, dan lainnya. Ini merupakan
hal baru yang ‘agak’ aneh kelihatannya, ketika seseorang bisa jatuh cinta hanya
melalui dunia maya, padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Hanya dengan
klik akun kemudian terlihat foto profil orang tersebut. Namun bagaimana jika
foto profil yang dipasang bukanlah identitas dari diri orang tersebut
sesungguhnya?
Banyak sekali isu-isu menyangkut Cyberspace, dan ternyata hal tersebut berdampak
pada konsep diri dan identitas seseorang. Dimana terkadang seseorang tidak percaya
diri dengan fisiknya hingga ia harus memalsukan identitasnya di dunia maya.
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang lemah akan konsep diri, mereka
tidak punya tujuan yang jelas sehingga yang mereka lakukan di dunia maya
hanyalah sebagai pemuas hasrat. hingga mengarah pada isu hangat yang sedang
terjadi seperti CyberLove. Contoh
konkretnya, saya mempunyai seorang sahabat (sebut saja si A) yang sedang jatuh
cinta dengan teman Cyberspace saya
(sebut saja si R) di akun instagram. Teman saya si A sebelumnya tidak pernah dengan
R di dunia nyata, namun entah bagaimana caranya si A bisa langsung jatuh cinta
dengan R hanya karena sering stalking profile instagram si R. Hampir setahun lamanya
si A menunggu R dengan selalu memberikan sebuah kode, mengirimkan direct messages (DM) kepada R, berharap si R menyadarinya. Ketika 14 bulan
kemudian tepatnya, si A mengetahui bahwa si R adalah akun palsu. R merupakan tokoh
‘fiksi’ yang dibuat-buat oleh orang lain. Orang tersebut dengan sengaja membuat
akun palsu dengan profile R agar banyak orang yang tertarik dengan akun R
tersebut, dan hal yang paling aneh adalah ketika R memalsukan identitasnya,
tidak banyak orang yang tahu selain saya dan teman saya si A. Hal ini pun
akhirnya membuat teman saya sakit hati dan kecewa karena ternyata orang yang
dicintainya adalah hasil karangan orang lain.
Ini merupakan salah satu akibat yang
ditimbulkan dari penggunaan cyberspace
yang mengarah ke cyberlove hingga menjadi
cybercrime. Teknologi baru atau New
Media memang selalu memudahkan individu dalam berinteraksi, melakukan
komunikasi. Namun, tak selamanya komunikasi yang dijalin selalu baik. Apalagi jika
interaksi tersebut dilakukan untuk tujuan kejahatan atau menipu orang lain. Itu
bukan lagi menjadi alasan mengapa New Media ada. Seharusnya New Media
diciptakan untuk tujuan menjalin kedekatan komunikasi agar lebih interaktif,
namun kehadiran New Media ini malah disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Akhir dari pembahasan mengenai cyberspace, cyberlove, hingga
cybercrime menjadi sebuah pembelajaran bagi kita agar lebih selektif dalam
memilih teman di dunia maya. Menggunakan media dengan sebijak-bijaknya dan
mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. New Media memang media
yang canggih, tapi kecanggihan tersebut tidak selalu membawa dampak positif
bagi kehidupan manusia apabila kita buta akan hakikat dan esensi dari adanya
media itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Alex, Sobur. 2003 . Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Arifianto, S. 2013 . Dinamika Perkembangan
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Serta Implikasinya di Masyarakat.
Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Media Bangsa.
Lievrouw,
Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook
of New Media : Social Shaping an Social Consequences of ITCs, Sage
Publication Ltd. London. (Chapter 2 :
“Creating Community with Media : History, Theories and Scientific Investigation)
Fromm, Eric. 1956 . The Art of
Loving (Terjemahan: Memaknai Hakikat Cinta) , Cetakan Pertama, Penerbit:
Harper.
Komentar
Posting Komentar